Riya Dan
Bahayanya
Minggu,
13 Juni 2010 22:56:36
WIB
Kategori : Bahasan : Hadits (1) RIYA DAN BAHAYANYA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ z قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : إِنَّ اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا,
قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ
قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ قِيْلَ ،
ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ,
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأََ اْلقُرْآنَ فَأُُتِيَ بِهِ
فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ:
تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ اْلقُرْآنَ,
قَالَ:كَذَبْتَ, وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ
اْلقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌٌ ، فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ
فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ
عَلَيْهِ وَاَعْطَاهُ مِنْ اَصْْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ
نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَاتَرَكْتُ مِنْ
سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ, قَالَ:
كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ, ثُمَّ
أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ. رواه مسلم
(1905) وغيره
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya
manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di
jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan
(yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya :
'Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?' Ia menjawab : 'Aku
berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.' Allah berfirman
: 'Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani.
Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian
diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup),
lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah
seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al Qur`an. Ia
didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun
mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: 'Amal apakah yang telah engkau
lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?' Ia menjawab: 'Aku menuntut ilmu dan
mengajarkannya, serta aku membaca al Qur`an hanyalah karena engkau.' Allah
berkata : 'Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim
(yang berilmu) dan engkau membaca al Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang
qari' (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang
dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan
melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang
diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan
diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya
(mengakuinya). Allah bertanya : 'Apa yang engkau telah lakukan dengan
nikmat-nikmat itu?' Dia menjawab : 'Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan
infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya
semata-mata karena Engkau.' Allah berfirman : 'Engkau dusta! Engkau berbuat
yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang
begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).' Kemudian diperintahkan (malaikat)
agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’”
TAKHRIJ
HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh : 1. Muslim, Kitabul
Imarah, bab Man Qaatala lir Riya' was Sum'ah Istahaqqannar (VI/47) atau
(III/1513-1514 no. 1905). 2. An Nasa-i, Kitabul Jihad bab Man Qaatala liyuqala
: Fulan Jari', Sunan Nasa-i (VI/23-24), Ahmad dalam Musnad-nya (II/322) dan
Baihaqi (IX/168).
Hadits ini
dishahihkan oleh al Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi (I/418-419), Syaikh
Ahmad Muhammad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad, no. 8260 dan Syaikh
Muhammad Nashiruddin al Albani dalam Shahih at Targhib wat Tarhib (I/114 no.
22) serta dalam Shahih An Nasa-i (II/658 no. 2940).
Hadits yang
semakna dengan ini diriwayatkan oleh Imam at Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab Az
Zuhud, bab Ma Ja'a fir Riya' was Sum'ah , no. 2382; Tuhfatul Ahwadzi (VII/54
no. 2489); Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, no. 2482 dan Ibnu Hibban no. 2502
-Mawariduzh Zham'an- dan al Hakim (I/418-419).
Para perawi hadits ini tsiqah (terpercaya), kecuali
Al Walid bin Abil Walid Abu Utsman. Dikatakan oleh al Hafizh, bahwa dia
layyinul hadits (lemah haditsnya) dalam Taqribut Tahdzib 2/290 tahqiq Musthafa
Abdul Qadir 'Atha'. Perkataan ini keliru, karena Al Walid bin Abdil Walid
termasuk perawi Imam Muslim dan dikatakan tsiqah oleh Abu Zur'ah Ar Razi.
(Lihat Al Jarhu wat Ta'dil oleh Abu Hatim Ar Razi, juz IX hlm. 19-20). At
Tirmidzi berkata mengenai hadits ini : “Hasan gharib”. Sedangkan Imam al Hakim
berkata : “Shahihul isnad” dan disetujui oleh Imam adz Dzahabi dalam Mustadrak
al Hakim (I/419). Lihat ta'liq Shahih Ibnu Khuzaimah (IV/115).
Tatkala
Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu mendengar hadits ini, beliau berkata: “Hukuman ini
telah berlaku atas mereka, bagaimana dengan orang-orang yang akan datang?” Kemudian
beliau menangis terisak-isak hingga pingsan. Setelah siuman, beliau mengusap
mukanya seraya berkata : Benarlah Allah dan RasulNya, Allah berfirman :
"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami
berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh
di akhirat kecuali neraka. Lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka
usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan". [Hud :
15-16]. [HR Tirmidzi no. 2382 dan Ibnu Khuzaimah no. 2482].
PENJELASAN
HADITS
Nilai amal di sisi Allah diukur dengan ikhlas
karena Allah dan sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah n , bukan dengan
banyak dan besarnya. Allah berfirman : "Katakanlah : Sesungguhnya aku ini
hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya
Rabb kamu itu adalah Allah yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaaan dengan
Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan jangan
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya". [al Kahfi :
110]. Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Inilah dua landasan amal yang
diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam”.[1]
Hadits di atas menjelaskan tentang tiga golongan
manusia yang dimasukkan ke dalam neraka dan tidak mendapat penolong selain
Allah
l . Mereka membawa amal yang besar, tetapi mereka
melakukannya karena riya', ingin mendapatkan pujian dan sanjungan. Pelaku riya'
, pada hari yang dibuka dan disibak semua hati, wajahnya diseret secara
tertelungkup sampai masuk ke dalam neraka. Nas-alullaha as-Salaamah wal
‘Afiyah.
Tiga golongan tersebut ialah:
Golongan Pertama : Yaitu kaum yang dianugerahi
Allah kesehatan dan kekuatan. Kewajiban mereka seharusnya adalah mencurahkan
semuanya untuk Allah dan di jalan Allah dalam rangka mensyukuri
nikmat-nikmatNya. Tetapi sayang, setan telah menjadikan mereka mencurahkannya
di luar jalan ini. Mereka memang pergi ke medan jihad dan berperang, tetapi
tujuan mereka supaya disebut pemberani. Kepada merekalah Allah mengawali
pengadilanNya pada hari Kiamat. Lalu Allah memperlihatkan nikmat-nikmatNya yang
telah dianugerahkan kepada mereka, seraya bertanya : “Apa yang kamu kerjakan
dengan nikat-nikmat itu?” Pada saat itulah Allah membuka rahasia hati mereka
seraya berfirman : “Kamu pendusta! Sesungguhnya kamu berperang (berjihad) hanya
supaya dikatakan pemberani (pahlawan).” Mereka tidak mampu membantah, karena
memang demikianlah kenyataannya. Malaikat pun diperintahkan menarik wajahnya
dan melemparkan ke dalam api neraka.
Golongan Kedua : Yaitu kaum yang dimuliakan Allah
dengan diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada manusia.
Mereka mampu membaca al Qur`an dan mempelajarinya. Seharusnya, dengan ilmu
tersebut mereka berniat karena Allah semata sebagai manifestasi rasa syukur
kepadaNya atas limpahan rahmatNya. Tetapi sayang, tujuan yang semestinya karena
Allah, telah dipalingkan dan dihiasi oleh setan, sehingga mereka berbuat riya'
(pamer) dengan ilmu itu di hadapan manusia, agar mendapat pujian, kedudukan,
harta dan jabatan. Mereka tidak menyadari, bahwa Allah selalu melihat dan
mengetahui apa yang mereka lakukan. Allah mengetahui rahasia yang tersembunyi
di hati mereka. Ternyata, mereka belajar, mengajar dan membaca al Qur`an supaya
dikatakan sebagai seorang alim, pintar atau yang semisal itu. Sedangkan yang
membaca al Qur`an supaya dikatakan qari' atau qari’ah, orang yang bagus dan
indah bacaannya. Maka pada hari Kiamat nanti, tidak ada yang mereka peroleh
kecuali dikatakan “pendusta”. Mereka hanya terdiam disertai kehinaan, kerugian
dan penuh penyesalan. Kemudian Allah menyuruh malaikat agar menyeret dan
mencampakkan mereka ke dalam neraka. Wal 'iyadzu billah.
Golongan Ketiga : Yaitu kaum yang diberi kelapangan
rezeki dan berbagai macam harta benda. Mereka adalah golongan yang mampu, kaya
dan berduit. Kewajiban mereka semestinya bersyukur kepada Allah dengan ikhlas
karena Allah semata. Tetapi sayang, mereka shadaqah, infaq, memberikan uang dan
mendermakan harta supaya menjadi terkenal dan dikatakan dermawan, karim (yang
mulia hatinya), supaya dikatakan orang yang khair (baik). Padahal apa yang
mereka katakan di hadapan Allah, bahwa mereka berinfaq, bershadaqah karena
Allah adalah dusta belaka. Sungguh telah dikatakan yang demikian itu, dan
mereka tidak bisa membantah. Allah mengetahui hati dan tujuan mereka. Kemudian
mereka diperintahkan untuk diseret atas mukanya dan dicampakkan ke dalam
neraka, dan mereka tidak mendapatkan seorang penolong pun selain Allah
Subhanahu wa Ta'ala. [2]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang orang yang berperang, orang
alim dan dermawan serta siksa Allah atas mereka, ialah karena mereka mengerjakan
demikian untuk selain Allah. Dan dimasukkan mereka ke dalam neraka menunjukkan
betapa haramnya riya' dan keras siksaannya, serta diwajibkannya ikhlas dalam
seluruh amal. Allah berfirman : !$ "Tidaklah mereka diperintahkan melainkan
untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan)
agama dengan lurus" [al Bayyinah : 5]
Keumuman hadits-hadits tentang keutamaan jihad,
sesungguhnya diperuntukkan bagi orang yang melaksanakannya karena Allah dengan
ikhlas. Demikian pula pujian terhadap ulama dan orang yang berinfaq di segala
sektor kebaikan, semua itu terjadi dengan syarat apabila mereka melakukan yang
demikian itu semata-mata karena Allah Ta'ala.[3] Demikian mengerikan siksa dan
ancaman bagi orang yang berbuat riya' dalam melakukan kebaikan. Mereka berbuat
dengan tujuan mengharap pujian dan sanjungan dari manusia. Islam lebih banyak
memperhatikan faktor niat (pendorong) suatu amal daripada amal itu sendiri,
meskipun kedua-duanya mendapat perhatian. Secara fitrah sudah diketahui, bahwa
penipuan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain merupakan perbuatan hina
dan dosa yang jelek. Jika penipuan itu dilakukan seorang makhluk terhadap
khaliq (pencipta)nya, maka perbuatan itu lebih sangat hina, buruk dan tercela.
Perbuatan itu merupakan perbuatan orang yang suka berpura-pura dan berbuat
untuk menarik perhatian manusia. Ia memperlihatkan di hadapan mereka
seakan-akan dia hanya menghendaki Allah semata. Padahal ia adalah seorang
penipu dan pendusta, maka tidak heran jika Allah menghinakannya dengan
dimasukkan ke dalam api neraka. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang definisi
riya', sebab-sebabnya, macamnya, bahayanya dan beberapa hal yang tidak termasuk
riya' serta obat penyakit riya'. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk
penulis dan para pembaca sekalian.
DEFINISI RIYA'
Secara lughah (bahasa), riya' الرِّيَاءُ adalah
mashdar dari kata : رَاءَى – يُرَاءِى – رِءَاءً وَ رِيَاءًا (رَاءَاهُ )
مُرَاءَاةً Perkataan : أَرَاهُ أَنَّهُ مُتَّصِفٌ بِالْخَيْرِ وَ الصَّلاَحِ
عَلَى خِلاَفِ مَا هُوَ عَلَيْهِ Berarti : “Ia memperlihatkan bahwasanya ia
orang baik, padahal hatinya tidak demikian. Artinya, apa yang nampak berbeda
dengan apa yang sebenarnya ada padanya”.[4] Sedangkan secara istilah syar'i,
para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi riya'. Tetapi intinya
sama, yaitu أَنْ يَقُوْمَ الْعَبْدُ بِالْعِبَادَةِ الَّتِيْ يَتَقَرَّبُ بِهَا
لِلَّهِ لاَ يُرِيْدُ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ بَلْ يُرِيْدُ عَرْضاً دُنْيَوِياًّ
"Seorang melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia
melakukan bukan karena Allah melainkan karena tujuan dunia".[5]
Al Qurthubi mengatakan : حَقِيْقَةُ الرِّيَاءِ
طَلَبُ مَا فِيْ الدُّنْيَا بِالْعِبَادَةِ ، وَ أَصْلُهُ طَلَبُ الْمَنْزِلَةِ
فِيْ قُلُوْبِ النَّاسِ (Hakikat riya' adalah mencari apa yang ada di dunia
dengan ibadah dan pada asalnya adalah mencari posisi tempat di hati
manusia).[6] Jadi riya' adalah melakukan ibadah untuk mencari perhatian manusia
sehingga mereka memuji pelakunya dan ia mengharap pengagungan dan pujian serta
penghormatan dari orang yang melihatnya.[7]
PERBEDAAN RIYA' DAN SUM'AH
Imam Bukhari
di dalam Shahih-nya membuat bab Ar Riya' was Sum'ah dengan membawakan hadits
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ . وَمَنْ
يُرَائِيْ يُرَائِي اللهُ بِهِ "Barangsiapa memperdengarkan (menyiarkan)
amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan barangsiapa beramal karena
riya', maka Allah akan membuka niatnya (di hadapan orang banyak pada hari Kiamat)".
[HR Bukhari no. 6499 dan Muslim no. 2987 dari sahabat Jundub bin Abdillah].
Perbedaan riya' dan sum'ah ialah, riya' berarti
beramal karena diperlihatkan kepada orang lain. Sedangkan sum'ah ialah, beramal
supaya diperdengarkan kepada orang lain. Riya' berkaitan dengan indera mata,
sedangkan sum'ah berkaitan dengan indera telinga.[8]
PERBEDAAN ANTARA RIYA' DAN 'UJUB
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat
th. 728 H) mengatakan : “Seringkali orang menghubungkan antara riya' dan 'ujub.
Padahal riya' merupakan perbuatan syirik kepada Allah karena makhluk, sedangkan
'ujub adalah syirik kepada Allah karena nafsu”.[9] Imam Nawawi rahimahullah
(wafat th. 676 H) berkata : “Ketahuilah, bahwa keikhlasan niat terkadang
dihalangi oleh penyakit 'ujub. Barangsiapa berlaku 'ujub (mengagumi) amalnya
sendiri, maka akan terhapus amalnya. Demikian juga orang yang sombong”.[10]
'Ujub, menurut bahasa berarti kekaguman, kesombongan atau kebanggaan. Yaitu
seorang bangga dengan dirinya atau pendapatnya. Orang yang berlaku 'ujub adalah
orang yang tertipu dengan dirinya, ibadahnya dan ketaatannya. Ia tidak
mewujudkan makna إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (hanya kepadaMu ya Allah, kami mohon
pertolongan). Sedangkan orang yang berlaku riya' tidak mewujudkan maknaإِيَّاكَ
نَعْبُدُ (hanya kepada Engkau ya Allah, kami beribadah). Apabila seseorang
sudah mewujudkan makna ِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ , maka akan
hilang darinya penyakit riya' dan 'ujub.[11] Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda : ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ : هَوًى مُتَّبَعٌ ، وَشُحٌّ مُطَاعٌ ، وَ
إِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ "Tiga perkara yang membinasakan, yaitu hawa
nafsu yang dituruti, kebakhilan (kikir) yang ditaati dan kebanggaan seseorang
terhadap dirinya". [HR Abu Syaikh dan Thabrani dalam Mu'jam Ausath. Lihat Shahih
Jami'ush Shaghiir no. 3039 dan Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah no. 1802]
SEBAB-SEBAB RIYA'
Sebab-sebab
yang menjerumuskan manusia ke lembah riya' ada beberapa hal. Pokok pangkal
riya' adalah kecintaan kepada pangkat dan kedudukan. Jika hal ini dirinci, maka
dapat dikembalikan kepada tiga sebab pokok, yaitu:
Pertama. Senang menikmati pujian dan sanjungan.
Kedua. Menghindari atau takut celaan manusia.
Ketiga. Tamak (sangat menginginkan) terhadap apa
yang ada pada orang lain.
Hal ini dipertegas dengan riwayat di dalam ash
Shahihain, dari hadits Abu Musa al-'Asyari Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam seraya berkata : الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ ، وَ الرَّجُلُ
يُقاَتِلُ لِيُذْكَرَ ، وَ الرَّجُلُ يُقاَتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ ، فَمَنْ فِيْ
سَبِيْلِ اللهِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ
اللهِ أَعْلَى ، فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ “Ada seseorang berperang karena rasa
fanatisme, berperang dengan gagah berani dan berperang dengan riya'; manakah
dari yang demikian itu berada di jalan Allah?” Beliau menjawab: “Barangsiapa
yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah yang paling tinggi, maka itulah
fi sabilillah”. [HR Bukhari no. 2810 dan Muslim no. 1904 dan selainnya]. Makna
perkataan orang itu “berperang dengan gagah berani”, yaitu agar namanya
disebut-sebut dan dipuji. Makna perkataan “berperang dengan fanatisme
(golongan)”, yaitu ia tidak mau dikalahkan atau dihina. Makna perkataan
“berperang dengan riya'”, yaitu agar kedudukannya diketahui orang lain, dan hal
ini merupakan kenikmatan pangkat dan kedudukan di hati manusia. Boleh jadi
seseorang tidak tertarik terhadap pujian, tetapi ia takut terhadap hinaan.
Seperti seorang yang penakut di antara para pemberani. Dia berusaha menguatkan
hati untuk tidak melarikan diri agar tidak dihina dan dicela. Ada kalanya
seseorang memberi fatwa tanpa ilmu karena menghindari celaan supaya tidak
dikatakan sebagai orang bodoh. Tiga hal inilah yang menggerakkan riya' dan sebagai
penyebabnya.[12]
MACAM-MACAM RIYA'
1. Riya' yang berasal dari badan, seperti
memperlihatkan bentuk tubuh yang kurus dan pucat agar tampak telah berusaha
sedemikian rupa dalam beribadah dan takut pada akhirat. Atau memperlihatkan
rambut yang acak-acakkan (kusut) agar dianggap terlalu sibuk dalam urusan agama
sehingga merapikan rambutnya pun tidak sempat., atau dengan memperlihatkan
suara yang parau, mata cekung (sayu) dan bibir kering agar dianggap
terus-menerus berpuasa. Riya' semacam ini sering dilakukan oleh para ahli
ibadah. Adapun orang-orang yang sibuk dengan urusan dunia, maka riya' mereka
dengan memperlihatkan badan yang gemuk, penampilan yang bersih, wajah yang
ganteng dan rambut yang kelimis.
2. Riya' yang berasal dari pakaian dan gaya, seperti
menundukkan kepala ketika berjalan, sengaja membiarkan bekas sujud di wajah,
memakai pakaian tebal, mengenakan kain wol, menggulung lengan baju dan
memendekkannya serta sengaja berpakaian lusuh (agar dianggap ahli ibadah). Atau
dengan mengenakan pakaian tambalan, berwarna biru, meniru orang-orang thariqat
shufiyyah padahal batinnya kosong (dari keikhlasan). Atau mengenakan tutup
kepala di atas sorban supaya orang melihat adanya perbedaan dengan kebiasaan
yang ada. Orang-orang yang melakukan riya' dalam hal ini, ada beberapa
tingkatan. Di antara mereka ada yang yang mengharap kedudukan di kalangan orang
yang baik dengan menampakkan kezuhudan dengan pakaian yang lusuh. Jika dia
berpakaian sederhana, namun bersih seperti kebiasaan Salafush Shalih, maka ia merasa
seperti hewan korban yang siap disembelih karena dia takut akan dikomentari
sebagai “biasanya ia menampakkan kezuhudan, tapi rupanya sudah berbalik dari
jalan itu”. Sedangkan riya' para pemuja dunia ialah dengan pakaian yang mahal,
kendaraan yang bagus dan perabot rumah yang mewah.
3. Riya' dengan perkataan, seperti dalam hal
memberi nasihat, peringatan, menghapal kisah-kisah terdahulu dan atsar dengan
maksud untuk berdebat atau memperlihatkan kedalaman ilmunya dan perhatiannya
terhadap keadaan para salaf. Atau dengan menggerakkan bibir dengan dzikir di
hadapan orang banyak, memperlihatkan amarah saat kemungkaran di hadapan orang
banyak, membaca al Qur`an dengan suara perlahan dan memperindahnya untuk
menunjukkan rasa takut dan kesedihan, atau yang seperti itu. Wallahu a'lam.
Sedangkan riya' para pemuja dunia adalah dengan menghapalkan syair-syair atau
pepatah dan berpura-pura fasih dalam perkataan.
4. Riya' dengan perbuatan, seperti riya' yang
dilakukan orang yang shalat dengan memanjangkan bacaan saat berdiri,
memanjangkan ruku' dan sujud atau menampakkan kekhusyuan atau yang lainnya.
Begitu pula dalam hal puasa, haji, shadaqah dan lain-lain. Sedangkan riya' para
pemuja dunia ialah dengan berjalan penuh lagak dan gaya, angkuh, congkak,
menggerak-gerakkan tangan, melangkah perlahan-lahan, menjulurkan ujung pakaian;
semuanya dimaksudkan untuk menunjukkan penampilan dirinya.
5. Riya' dengan teman atau orang-orang yang
berkunjung kepadanya, seperti seseorang memaksakan dirinya supaya dikunjungi
oleh ulama atau ahli ibadah ke rumahnya, agar dikatakan “si fulan telah
dikunjungi ulama dan banyak ulama yang sering datang ke rumahnya”. Ada juga
orang yang berlaku riya' dengan banyak syaikh atau gurunya, agar orang
berkomentar tentang dirinya “dia sudah bertemu dengan sekian banyak syaikh dan
menimba ilmu dari mereka”. Dia berbuat seperti itu untuk membanggakan diri.
Begitulah yang biasa dilakukan orang-orang yang berlaku riya' untuk mencari
ketenaran, kehormatan dan kedudukan di hati manusia.[13]
Kita memohon keselamatan kepada Allah dari semua
macam riya' ini. Ya, Allah. Janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau
memberi petunjuk kepada kami, dan jauhkanlah diri kami dan amal kami dari
riya'. Amin.
CIRI-CIRI DAN TANDA-TANDA RIYA'
Riya'
mempunyai ciri dan tanda-tanda sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
'anhu , bahwa orang yang berlaku riya' memiliki tiga ciri, yaitu : dia menjadi
pemalas apabila sendirian, dia menjadi giat jika berada di tengah-tengah orang
banyak, dia menambah kegiatan kerjanya jika dipuji dan berkurang jika
diejek.[14] Tanda yang paling jelas ialah merasa senang jika ada orang yang
melihat ketaatannya. Andaikan orang tidak melihatnya, dia tidak merasa senang.
Dari sini diketahui, bahwa riya' itu tersembunyi di dalam hati, seperti api
yang tersembunyi di dalam batu. Jika orang melihatnya, maka menimbulkan
kesenangan. Dan kesenangan ini bergerak dengan gerakan yang sangat halus, lalu
membangkitkannya untuk menampakkan amalnya. Bahkan ia berusaha agar amalnya itu
diketahui, baik secara sindirian atau terang-terangan.
[15] Diriwayatkan bahwa Abu Umamah al Bahili pernah
mendatangi seseorang yang sedang bersujud di masjid sambil menangis ketika
berdoa. Kemudian Abu Umamah mengatakan kepadanya : “Apakah engkau lakukan
seperti ini jika engkau shalat di rumahmu?” (Teguran dimaksudkan untuk
menghilangkan sikap riya').[16]
JEBAKAN DAN PERINGATAN
Terkadang,
seorang hamba bersungguh-sungguh untuk membersihkan diri dari riya', namun ia
terjebak dan tergelincir di dalamnya, sehingga ia meninggalkan amal karena
takut riya'. Jika seorang hamba meninggalkan amal yang baik dengan maksud
supaya terhindar dari riya', maka tidak ragu lagi, bahwa sikap ini adalah sikap
yang salah dalam menghadapi riya'. Fudhail bin Iyadh menjelaskan, meninggalkan
amal karena manusia adalah riya', sedangkan beramal karena manusia adalah
syirik. Ikhlas itu adalah Allah menyelamatkan kita dari keduanya. Imam Nawawi
rahimahullah menjelaskan : “Perkataan Fudhail bahwa orang yang meninggalkan
amal karena manusia adalah riya', sebab ia melakukannya karena manusia.
Adapun kalau meninggalkan amal karena ingin
melakukannya di saat sepi atau sendirian, maka diperbolehkan dan ini sunnah,
kecuali dalam perkara yang wajib, seperti shalat wajib lima waktu atau zakat,
atau ia seorang alim yang menjadi panutan dalam ibadah, maka menampakkannya
adalah afdhal (utama).[17] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
mengatakan,”Barangsiapa melakukan amal rutin yang disyariatkan, seperti shalat
Dhuha, qiyamul lail (shalat tahajud), maka hendaklah dia tetap melakukannya dan
tidak seyogyanya ia meninggalkan kebiasaan itu hanya karena berada di
tengah-tengah manusia. Hanya Allah-lah yang mengetahui rahasia hatinya, bahwa
ia melaksanakannya karena Allah dan ia bersungguh-sungguh berusaha agar selamat
dari riya' dan dari hal-hal yang merusak keikhlasan,” kemudian beliau
membawakan perkataan Fudhail bin Iyadh seperti di atas.
Selanjutnya beliau mengatakan, barangsiapa melarang
sesuatu yang disyariatkan hanya berdasarkan anggapan bahwa hal itu adalah riya',
maka larangannya itu tertolak berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut :
1. Amal yang disyariatkan tidak boleh dilarang
hanya karena takut riya'. Bahkan diperintahkan untuk tetap dilakukan dengan
ikhlas. Bila kita melihat seseorang yang mengerjakan suatu amal yang
disyariatkan, kita harus menetapkan bahwa dia melakukannya (atau
membiarkannya), kendatipun kita dapat memastikan ia berbuat dengan riya'.
Seperti halnya orang-orang munafik yang Allah berfirman tentang mereka :
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas
tipuan mereka. Apabila mereka berdiri shalat, mereka berdiri dengan malas.
Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka
menyebut Allah kecuali sedikit sekali". [an Nisaa` : 142]. Mereka
(orang-orang munafik) shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya membiarkan amal yang mereka
tampakkan, meskipun mereka berbuat itu dengan riya' dan tidak melarang
perbuatan zhahir mereka. (Artinya, para sahabat tidak melarang mereka shalat
bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Pen). Hal itu, karena
kerusakan meninggalkan syariat yang mesti ditampakkan jauh lebih berbahaya
daripada menampakkan amal tersebut dengan riya'. Sebagaimana meninggalkan iman
dan shalat lima waktu lebih besar bahayanya, dibanding dengan meninggalkan amal
itu dengan riya'.
2. Pengingkaran hanya terjadi pada apa yang
diingkari oleh syariat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
…إِنِّيْ لَمْ أُوْمَرْ ، أَنْ أُنَقِّبَ عَلَى قُلُوْبِ النَّاسِ ، وَلاَ أَشُقَّ
بُطُوْنَهُمْ… "Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk menyelidiki
(memeriksa) hati mereka dan tidak pula untuk membedah perut mereka". [HR
Bukhari no. 4351, Muslim no. 1064 (144) dan Ahmad (III/4-5) dari Abu Said al
Khudri Radhiyallahu 'anhu]. Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengatakan :
“Barangsiapa menampakkan kebaikan, kami akan mencintainya meskipun hatinya
berbeda dengan itu. Dan orang yang menampakkan kejelekannya, kami akan
membencinya meskipun ia mengaku bahwa hatinya baik”.
3. Sesungguhnya membolehkan pengingkaran terhadap
hal seperti itu, justru akan membuka peluang kepada ahlus syirk wal fasad
(orang yang berbuat syirik dan kerusakan) untuk mengingkari ahlul khair wad diin
(orang yang berbuat baik). Apabila mereka melihat orang yang melakukan perkara
yang disyariatkan dan disunnahkan, mereka berkata “orang ini telah berbuat
riya”. Lalu karena tuduhan ini, orang yang jujur dan ikhlas akan meninggalkan
perkara-perkara yang disyariatkan karena takut ejekan, celaan dan tuduhan
mereka. Lantas terbengkalailah kebaikan (amal-amal khair) dan tidak terlaksana.
Kemudian, hal itu akan menjadi senjata bagi orang-orang yang berbuat syirik
untuk tetap dan terus melakukan kegiatan mereka, dan tidak ada seorang pun yang
mengingkari. Hal ini merupakan kerusakan yang paling besar.
4. Sesungguhnya hal seperti ini merupakan syi'ar
(semboyan) orang yang munafik. Mereka selalu mencela orang yang menampakkan
amal yang disyariatkan. Allah berfirman : "(Orang-orang munafik) yaitu
orang -orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi shadaqah dengan
sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan)
selain sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina Allah.
Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang
pedih". [at Taubah : 79] Insya Allah bersambung ……
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M.
Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Alamat
Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
Footnote
[1].
Tafsir Ibnu Katsir (III/120-121), Cet. Maktabah Daarus Salaam.
[2].
Taujihat Nabawiyah 'ala Thariq, karya Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Darul Wafa'.
[3].
Syarah Muslim (XIII/50-51).
[4].
Mu’jamul Wasith (I/320).
[5] Al
Ikhlas, oleh Dr. Umar Sulaiman al Asyqar, hlm. 94, Cet. Daarun Nafa-is, Th.
1415 H. [6]. Tafsir al Qurthubi (XX/144), Cet. Daarul Kutub al Ilmiyyah, Th.
1420 H.
[7].
Fathul Bari (XI/336).
[8]. Ibid
(XI/336) dan Al Ikhlas, hlm. 95, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar.
[9].
Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X/227).
[10].
Syarah Arbain, hlm. 5.
[11]. Al
Ikhlas, hlm. 97, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar.
[12].
Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 284, Ibnu Qudamah al Maqdisi, tahqiq Syaikh
Ali Hasan Abdul Hamid.
[13].
Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 275-278, Ibnu Qudamah al Maqdisi, tahqiq
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid; Ar Riya' wa Atsaruhu As Sayi' fil Ummah, hlm.
17-20.
[14]. Al
Kabair, Imam adz Dzahabi hlm. 212, tahqiq Abu Khalid Al-Husain bin Muhammad As
Sa'idi, Cet. Darul Fikr.
[15].
Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah al Maqdisi, hlm. 280.
[16]. Al
Kabair, Imam adz Dzahabi, hlm. 211.
[17].
Syarah Arbain, Imam Nawawi, hlm. 6.
[18]. Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah (23/174-175). SUMBER : http://fenditazkirah.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment